Tempat cerita
Tempat mengeluh
Tempat berharap
Aku ada. Selalu.
Tapi anehnya, semakin aku hadir sepenuhnya, aku justru semakin hilang dari diriku sendiri.
Ketika Hubungan Lebih Banyak Menguras daripada Menguatkan
Dalam relasi itu, aku sering merasa harus kuat.
Kalau dia lelah, aku menenangkan
Kalau dia jatuh, aku menopang
Kalau dia bingung, aku membantu mencari jalan.
Sementara aku?
Aku belajar menunda capekku sendiri.
Aku mulai terbiasa...
Mengerti tanpa dimengerti
Menunggu tanpa kepastian
Memberi tanpa pernah benar-benar diminta, tapi selalu diharapkan
Dan aku menyebutnya cinta.
Padahal, itu kelelahan yang disamarkan oleh empati.
Saat Cerita Kita Tidak Benar-Benar Didengar
Ada momen-momen kecil yang sebenarnya sederhana, tapi meninggalkan rasa kosong.
Saat aku bilang sedang haid hari pertama, tubuhku lemah dan tidak enak, keesokan harinya aku diingatkan untuk sholat.
Mungkin niatnya baik. Tapi disitu aku merasa, keadaanku kemarin tidak benar-benar disimak.
Bukan soal sholatnya. Tapi tentang perasaan bahwa ceritaku lewat begitu saja, tanpa benar-benar tinggal dikepalanya.
Ada juga saat aku berkata aku baru saja mimpi buruk. Aku berharap pertanyaan sederhana seperti, "kamu mimpi apa?" atau kalimat kecil yang menunjukan kepedulian.
Namun yang datang justru cerita tentang mimpi buruknya sendiri.
Seolah tanpa sadar, ceritaku tidak perlu dilanjutkan, karena miliknya lebih dulu ingin disampaikan.
Disini aku mulai belajar didengar tidak selalu sama dengan ditanggapi.
Hal-hal kecil seperti itu, jika terjadi sekali, mungkin tidak apa-apa. Namu ketika berulang, pelan-pelan menumbuhkan rasa sendiri didalam hubungan yang seharusnya hangat.
Aku tidak marah.
Aku khanya merasa...tidak ditemani
Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku selalu berusaha menyimak, sementara saat aku bercerita, rasanya aku hanya lewat sebentar.
Aku Baru Sadar, Tidak Semua Orang Pantas Mendapatkan Akses Penuh
Ada satu titik dimana aku bertanya ke diri sendiri:
"kenapa aku selalu ada, tapi saat aku butuh, rasanya sendirian?"
Dari situ aku sadar, tidak semua orang yang dekat dengan kita siap bertanggung jawab atas kedekatan itu.
Vibe, perhatian, energi emosional semua itu bukan hal gratis.
Kalau seseorang hanya datang saat butuh diisi, tapi menghilang saat kita kosong, itu bukan relasi. Itu pemakaian sepihak.
Membuat Batasan Itu Menyakitkan, Tapi Perlu
Awalnya aku merasa bersalah
Takut dibilang berubah
Takut dianggap dingin
Takut kehilangan
Tapi lebih menakutkan lagi adalah kehilangan diriku sendiri demi mempertahankan hubungan yang tidak pernah benar-benar memelukku kembali.
Batasan pertamaku sederhana:
- Aku berhenti menjelaskan diri ke orang yang tidak mau mendengar
- Aku tidak lagi selalu tersedia
- Aku berhenti merasa bertanggung jawab atas emosi orang lain
Ada yang menjauh
Ada yang berubah sikap
Memilih Diri Sendiri Adalah Bentuk Kedewasaan
Aku tidak berhenti peduli
Aku hanya berhenti mengorbankan diri sendiri.
Aku belajar bahwa;
- Cinta tidak seharusnya membuat kita kecil
- Relasi tidak seharusnya membuat kita kelelahan terus-menerus
- Dan kehadiran kita tidak perlu diperjuangkan sendirian
Kedekatan itu harus dua arah
Empati harus saling dijaga
Aku tetap hangat, tapi tidak lagi membakar diri sendiri agar orang lain merasa nyaman.
Karena cinta, dalam bentuk apapun, seharusnya membuat kita merasa aman, bukan terus-menerus menguakan sambil menahan lelah.
Menciptakan batsan bukan tentang manjauhkan orang lain, melainkan mendekatkan diri pada keseimbangan.
Pelan-pelan aku belajar, tidak semua orang perlu masuk terlalu dalam.
Dan itu tidak apa-apa.
Karena menjaga diri sendiri adalah salah satu bentuk kasih yang paling sunyi, namun palin tulus.
~Re
