Diawal semuanya terasa indah. Cara dia menyapaku selalu penuh antusias, seakan setiap menit bersamaku berharga. Pagi dmulai dengan ucapan selamat, malam ditutup dengan cerita panjang tentang harinya, keluarganya, ceritanya. Ia seperti pria yang tau tujuan, tau apa yang ia inginkan, dan tak ragu mengejar. Aku dibuat merasa istimewa - bukan sekedar pilihan, tapi prioritas.
Namun perlahan, intensitas itu memudar.
Pesan-pesan yang dulu mengalir seperti hujan, mulai datang seperti gerimis yang berselang. Kalimatnya semakin pendek, suaranya semakin jauh. Ia masih ada, tapi tak lagi hadir. Tidak ada lagi "aku kangen kamu" tanpa diminta, tidak ada lagi pertanyaan sederhana seperti "kamu sudah makan?" yang dulu terdengar remeh tapi ternyata berarti banyak.
Yang paling menyakitkan bukan ketika seseorang pergi, tapi ketika ia tetap disana, hanya saja tak lagi sama.
Aku mencoba bertanya-tanya apakah aku salah? apakah aku berubah? apakah karena aku tidak bisa menjadi penolongnya lagi? atau mungkin sejak awal, ia hanya menggebu karena keinginan sesaat dan hanya memanfaatkanku? bukan karena komitmen jangka panjang.
Kini aku mengerti satu hal...
Orang yang datang dengan suara paling keras, belum tentu orang yang bertahan paling lama. Ada cinta yang berisik diawal untuk membuktikan kehadirannya, lalu perlahan sunyi ketika ia merasa tujuannya tercapai. Ada juga cinta yang tenang, tidak meledak, tapi tumbuh konsisten dan tidak pernah berhenti.
Aku pernah menyalahkan diri sendiri. Tapi ternyata, tidak semua dinginnya akhir punya penyebab dalam diri kita. Kadang, memang dia hanya datang sampai sejauh itu hanya untuk memenuhi ego dan kebutuhannya.
Dan itu bukan kegagalanku-itu batasnya.
~Re
