Ada saat dalam hidupku ketika aku mencoba belajar mencintai seseorang yang ku rasa dia tulus dari awal dengan begitu dalam, sampai-sampai aku rela merobek diriku sendiri hanya untuk mengerti lukanya.
Aku menunggu kabarnya, mengulur harapan, dan berkali-kali meyakinkan hatiku bahwa ia hanya sedang lelah, sedang tertekan, sedang berjuang.
Tapi ternyata aku lupa; tidak semua orang yang kita perjuangkan punya nyali untuk memperjuangkan balik.
Ia datang dengan cerita yang rumit, dengan alasan yang selalu berubah, dengan janji-janji yang terdengar manis tapi tak pernah benar-benar menjadi nyata.
Ia memanggilku sayang disetiap jeda, tetapi tak pernah hadir ketika aku yang membutuhkan genggamannya.
Ia hilang, muncul, dan hilang lagi - seperti ombak yang hanya bisa mendekat ketika laut sedang tenang bagi dirinya.
Sementara aku berdiri di tepi pantai, menunggu sesuatu yang bahkan tidak pasti ingin kembali padaku.
Dan akhirnya aku mengerti; bukan aku yang kurang perhatian, bukan aku kyang tidak cukup peduli.
Aku hanya terlalu berharap pada seseorang yang bahkan tidak tahu bagaimana berdiri untuk dirinya sendiri, apalagi untukku.
Aku terlalu sibuk membenarkan sikapnya sampai lupa bahwa hatiku sendiri sedang retak, perlahan tapi pasti.
Kini aku menarik garis. Aku memilih untuk berhenti menjadi pelabuhan yang hanya didatangi ketika butuh tempat singgah.
Aku memilih diriku sendiri, dengan semua luka yang perlahan sembuh, dengan semua harga diri yang sedang aku kumpulkan kembali.
Aku tidak lagi menunggu, tidak lagi menunduk, tidak lagi memohon penjelasan dari seseorang yang tak benar-benar punya kejelasan.
Jika suatu hari dia kembali, mungkin dia hanya akan menemukan pintu yang sudah kututup rapat - bukan karena aku membenci, tapi karena aku akhirnya mencintai diriku lebih dari rasa sakit yang dibawanya.
Dan itulah kekuatanku; keberanian untuk pergi dari apa yang tak pernah benar-benar memilih ataupun memilikiku.
~Rika
