Ketika Hutang Bukan Sekedar Uang, Tetapi Cermin Kejujuran



Ada masa ketika kita percaya bahwa membantu seseorang adalah hal yang baik.
Mereka datang membawa cerita tentang kesulitan, keadaan darurat, keluarga yang sakit, atau bisnis yang runtuh.
Kata-kata mereka terdengar tulus, penuh harapan, dan kita pun luluh. Kita meminjamkan uang bukan untuk mendapatkan pujian, tapi karena ingin meringankan beban orang lain.

Namun....cerita berubah ketika waktu jatuh tempo telah tiba.

Yang dulu bicara lembut mulai menghilang
Yang awalnya memohon kini mulai mulai menghindar
Dan orang yang dulu berkata "aku pasti bayar" sekarang berganti menjadi "nanti ya", "aku sibuk", "aku masih urus", atau bahkan tidak menjawab sama sekali

Tiba-tiba kita menyadari hal pahit, yang lebih sulit dari memberi pinjaman adalah menagihnya.

Banyak orang berfikir bahwa pelaku hutang kabur karena keadaan ekonomi. Kadang benar, tetapi lebih sering alasan utamanya adalah karakter. Orang yang jujur tetap berusaha membayar meskipun sedikit demi sedikit.
Orang yang berintegritas tahu bahwa hutang adalah janji. Ia sadar, meminta uang itu berarti membawa nama baiknya dalam genggaman orang lain.

Sedangkan mereka yang memang berniat kabur akan memakai segala taktik:

  • Mengulur waktu dengan alasan yang berulang
  • Menghindar dari komunikasi: tidak membalas, memblokir, atau tiba-tiba menghilang
  • Memanipulasi rasa kasihan: mengungkit sakit orang tua, anak, atau masalah keluarga
  • Menyerang balik dengan menyebut kita tidak sabar atau menekan, kadang justru mengatai kita menginjak2 hargadirinya dan tidak ada rasa empati, dia lupa kita bisa meminjami dia itu karna ada rasa peduli dan empati
Mereka tau caranya memainkan simpati orang yang baik hati.
Mereka tau kapan harus menghilang. Dan sayangnya, mereka tau bahwa pinjaman yang diberikan tanpa bukti sering berkahir tanpa pertanggungjawaban, jangankan tanpa bukti terkadang dengan bukti pun mereka juga bisa menghilang.

Ketika kita memberikan bantuan, kita sering membayangkan versi terbaik dari orang itu.
Kita percaya karena kita sendiri tidak berniat jahat. Maka ketika mereka menghilang, rasa sakitnya bukan hanya soal uang-tetapi tentang kepercayaan yang diinjak-injak.

Ada rasa tidak percaya "kok bisa dia tega?"
Ada marah pada diri sendiri "kenapa aku begitu percaya?"
Ada malu "kenapa aku terlihat bodoh?"
Semua itu normal. Tidak ada yang salah pada seseorang yang memberi karena niat baik.
Kesalahan ada pada mereka yang meminta lalu menghianati.

Uang bisa dicari lagi, kepercayaan tidak selalu kembali
menghadapi orang yang lari dari tanggung jawab bukan hanya tentang menagih, tetapi tentang menerima kenyataan bahwa tidak semua orang layak diberi kepercayaan kedua.
Yang terpenting saat ini adalah menjaga diri agar kejadian itu tidak berulang.
Bukan karena kita dendam, tapi karena kita akhirnya mengenal dunia:

Ada orang yang meminta pertolongan untuk bangkit, dan ada orang lain yang menggunakan kebaikan orang lain sebagai peluang untuk kabur.
Dan kepada orang tipe kedua, kita tidak perlu mengutuk, cukup biarkan kehidupan ini mengajarkan pada mereka : Kepercayaan yang dijual murah akan selalu kembali sebagai beban yang lebih mahal.


~Re

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama